Read, Remember, and Right

Ussually visit my blog, and don't forget to be a followers

Tugas Sekolah SMAN 1 Martapura

Rabu, 18 Januari 2012

UNSUR FIKSIONAL CERPEN PELAJARAN MENGARANG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA


UNSUR FIKSIONAL CERPEN PELAJARAN MENGARANG KARYA
SENO GUMIRA AJIDARMA

1.Pengidentifikasian Unsur Setting dalam Cerpen Pelajaran Mengarang
Dalam cerpen Pelajaran Mengarang ditemukan berbagai macam setting, diantaranya setting waktu, setting tempat dan setting keadaan. Diantara ketiga setting tersebut, setting waktulah yang sangat dominan dalam menghubungkan alur (kejadian) satu dengan alur (kejadian) yang lain, sedangkan setting tempat berada dalam suasana dan tidak disebutkan secara jelas, tetapi msekipun tidak disebutkan secara jelas oleh pengarang, setting tempat tersebut dapat kita tangkap atau kita kenali melalui suasana yang tercipta.
•Kutipan:
1)Pelajaran mengarang sudah dimulai. Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih.
2)Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur.
Dari kedua kutipan di atas dapat diketahui setting tempat yang berada dalam setting suasana yang diciptakan pengarang. Pada kutipan pertama, kata pelajaran mengarang, ibu guru Tati, anak-anak kelas V, meja, dan papan putih menunjukkan bahwa suasana dalam cerita berlangsung di dalam ruang kelas yang berarti setting tempat berada dalam kelas suatu sekolah dasar. Dalam kutipan kedua dapat diketahui bahwa setting tempat yang terdapat dalam setting suasana menunjukkan kejadian dalam cerita berada di sebuah rumah yang berantakan yang terdapat banyak botol kosong berserakan di mana-mana. Di sini, pengarang tidak menyebutkan tempat tersebut secara langsung, melainkan melalui setting suasana.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam cerpen Pelajaran Mengarang ditemukan tiga setting yang saling melengkapi dan memperjelas satu sama lain. Setting waktulah yang paling menonnjol sebagai media perpindahan suasana dari suasana satu ke suasana yang lain.
•Kutipan:
1)Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
2)Sepuluh menit segera berlalu.
3)Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang.
4)Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”.
5)Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
6)Dua puluh menit berlalu.
7)Tiga puluh menit lewat tanpa permisi.
8)Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk.
9)Empat puluh menit lewat sudah.
Hampir semua setting bersifat fisik, tetapi ada pula yang bersifat psikis. Setting yang bersifat psikis menimbulkan suasana damai yang tenang dalam lamunan tetapi ada pula yang menimbulkan suatu kecemasan.
•Kutipan:
1)Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut.
2)Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati.
3)Maka berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluarkan asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager…
Dalam kutipan pertama dan kedua, tercipta setting keadaan yang bersifat psikis yang menimbulkan suasana tenang dan nyaman. Sedangkan pada kutipan ketiga, dari setting tersebut tercipta suasana cemas dan trauma yang dialami tokoh atas sesuatu yang dilihatnya setiap hari. Kutipan yang pertama menyatakan bahwa “…anak manis yang menulis dengan kening berkerut”, dalam kalimat ini, kata manis bukanklah arti yang sesungguhnya terasa manis, melainkan manis yang berarti tenang, tertib, atau lugu. Kutipan kedua menyatakan bahwa “Anak-anak tenggelam ke dalam dunianya” kata tenggelam di dalam kalimat tersebut bukanlah arti tenggelam yang sesungguhnya, melainkan ungkapan pengarang yang berarti menikmati. Begitu pula dalam kalimat “…berkelebatan di benak Sandra”, berkelebatan di sini bukanlah arti yang sesungguhnya untuk menyatakan benda yang tertiup angin sehingga berkelebat tetapi berkelebat yang dimaksud dalam kalimat ini berarti terbayang.

2. Mengidentifikasi Fungsi Setting Cerpen Pelajaran Mengarang
Hubungan variasi setting dengan perkembangan perubahan cerita sangat terlihat dalam cerpen Pelajaran Mengarang terlebih dalam setting waktu. Suasana demi suasana saling dihubungkan oleh setting waktu yang cenderung mundur dan maju kembali saat di akhir.
Setting suasana dapat menunjukkan watak dan penokohan pelaku yang akan dibahas dengan rinci dalam bagian penokohan dan perwatakan.
•Kutipan:
1)Ibu Guru Tati: Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasip macam apa.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya.
2)Sandra: Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci. Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain.
3)Marti (Mama Sandra): “Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
4)Mami (wanita yang dianggap nenek oleh Sandra): “Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami.

Setting sangat berhubungan dengan atmosfer dalam cerita, dan settinglah yang mengatur semua atmosfer dalam alur cerpen, baik setting waktu, tempat, maupun setting suasana itu sendiri. Seperti yang telah dijabarkan dalam pengidentifikasian setting, pengarang menggunakan setting waktu untuk media perpindahan cerita. Pengarang menggunakan setting waktu untuk menghubungkan suasana satu dengan suasana satu yang dapat memperjelas alur cerita. Sehingga dengan begitu, setting dapat mengikuti tema yang diambil.

3. Pengidentifikasian Gaya Bahasa dalam Prosa Fiksi
Gaya bahasa yang ada dalam cerpen Pelajaran Mengarang didominasi oleh gaya bahasa sarkasme dan personifikasi, tetapi ditemukan pula gaya bahasa apofasis atau preterisio, polisindeton, dan metonimia.
1)Sarkasme adalah gaya bahasa yang paling kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan.
•Kutipan:
a)“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama”.
b)“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
c)“Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
2)Personifikasi adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup.
•Kutipan:
a)Lewat belakang, anak jadah
b)Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis
c)Tiga puluh menit lewat tanpa permisi
3)Apofasis atau Preterisio adalah gaya bahasa dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.
•Kutipan: Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
4)Polisindeton adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung.
•Kutipan: . Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
5)Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang sebagai pengganti nama diri.
•Kutipan: Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya.

Pengarang banyak menggunakan gaya bahasa sarkasme dan personifikasi untuk memunculkan emosi sesuai dalam cerpen, sehingga pengarang hanya menggunakan sedikit penataan kata yang istimewa karena hampir keseluruhan isi cerpen menggunakan kata-kata biasa yang digunakan masyarakat pada umumnya. Dari gaya bahasa yang digunakan, juga dapat dilihat munculnya efek kerasnya kehidupan yang dialami tokoh utama dalam certita, efek kejam, dan sakit hati juga tercipta dari pemilihan gaya bahasa tersebut.
Dalam penuturan pelaku, pengarang menggunakan gaya bahasa yang sangat kasar. Hal ini dilakukan oleh pengarang untuk menunjukkan karakter atau watak tokoh.

4.Penokohan dan Perwatakan
Pengarang memberikan cirri khusus kepada para tokoh dengan tuturan pengarang maupun dialog tokoh.
•Analisis:
1)Ibu Guru Tati:
a)Penokohan: berkacamata tebal, belum berkeluarga
b)Watak: sabar, penuh kasih
•Kutipan: Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasip macam apa.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya.
2)Sandra:
a)Penokohan: anak berumur 10 tahun
b)Watak: lugu, penurut, pendendam, penyayang, sensitif.
•Kutipan: Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela.
Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci. Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain.
3)Marti (Mama Sandra):
a)Penokohan: bibir merah, mulut berbau rokok dan minuman keras, mata kuyu, wajah pucat. Dia seorang pelacur.
b)Watak: pemarah, pemabuk, kurang perhatian.
•Kutipan: “Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat. Ibuku seorang pelacur…
4)Mami (wanita yang dianggap nenek oleh Sandra):
a)Penokohan: wanita tua, wajah penuh kerut, sapuan warna yang serba tebal, merah sangat tebal pada pipinya dan Hitam sangat tebal pada alisnya, dan wanginya sangat memabukkan.
b)Watak: menyebalkan, pemarah dan kasar.
•Kutipan: Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami.

Pengarang mendeskripsikan lingkungan, kehidupan, kebiasaan dan cara berperilaku pelaku dengan menggunakan tuturannya yang dikemas dalam setting suasana. Tokoh atau pelaku membicarakan dirinya sendiri melalui tuturan pengarang.
•Kutipan: Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
Tokoh atau pelaku lain yang membicarakan tokoh lain dengan menggunakan dialog antar tokoh dan dialog tersebut membuat tokoh lain memberi reaksi terhadapnya. Tetapi tokoh itu bereaksi kepada tokoh yang membicarakannaya dengan kebingungan dan ketidakmengertian.
•Kutipan:
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton. Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka. Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

5.Mengidentifikasi Alur dalam Prosa Fiksi
Rangkaian kejadian dalam cerpen Pelajaran Mengarang dihubungkan oleh setting waktu atau penanda waktu, meskipun alur berjalan mundur dan kemudian maju kembali, satuan peristiwa dalam cerita tetap dapat dipahami karena adanya penanda waktu yang jelas serta keterangan-ketarangan penuturan pengarang yang mendukung. Dalam rangkaian alur, terdapat peristiwa yang secara umum digambarkan sebagai lamunan atau imajinasi seorang gadis kecil tentang keluarga yang tak pernah ia miliki secara utuh. Ia terpaksa membayangkannya karena saat itu ia ditugasi gurunya untuk mengarang dengan tema keluarga. Dalam bayangan itulah alur terlihat mundur. Setelah berselang beberapa waktu, lamunan tersebut kembali ke keadaan nyata, dimana tokoh utama tersebut berada di dalam kelas untuk mengarang. Saat itulah alur terlihat maju kembali.

6.Titik Pandang
Peran pengarang dalam cerita adalah menjadi pengamat atau pencerita dan tidak menjadi pelaku maupun penderita.
•Kutipan:
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Tokoh utama menjadi pelaku dan penderita. Tokoh utamalah yang menjadi fokus dalam cerita, dan di dalam cerpen Pelajaran Mengarang, tokoh Sandralah yang diceritakan pengarang menjadi tokoh utama yang selalu disorot. Jadi, pengarang hanya sebagai pencerita dan tidak menjadi pelaku mapun penderita.



7.Penentuan Tema dan Amanat
•Didasarkan pada unsur dan setting, satuan dan tahapan alur serta
Hubungan antara unsur satuan peristiwa prosa fiksi
Tema dan amanat cerpen Pelajaran Mengarang didasarkan pada unsur dan setting, satuan dan tahapan alur serta hubungan antara unsur satuan peristiwa prosa fiksi karena ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga dapat ditemukan tema yang terkandung di dalamnya. Tema yang diangkat adalah kehidupan seorang anak kecil yang tak lain dan tak bukan adalah anak seorang pelacur yang tak bisa menuntaskan tugas mengarangnya yang berhubungan dengan keluarga yang tak pernah ia miliki seperti anak seumuran dengannya. kesimpulannya, tema cerpen Pelajaran Mengarang adalah diskriminasi perlakuan sosial.
•Sikap pengamat terhadap pokok pikiran yang ditampilkan
Jika dilihat dari sikap pengamat terhadap pokok pikiran yang ditampilkan dalam cerpen Pelajaran Mengarang, tema yang diangkat adalah protes atau ungkapan iba sorang pengarang terhadap keadaan sosial masyarakat kita yang sangat menjunjung tinggi derajat atau tingkatan dalam masyarakat.

Cerpen Pelajaran Mengarang



Oleh Seno Gumira Ajidarma
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
”Kalian punya waktu 60 menit,” ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang ke luar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin yang kencang. Ingin rasanya ia lari keluar kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus-menerus mendengkur bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
”Lewat belakang anak jadah, jangan ganggu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkannya tentang sebuah keluarga yang bahagia.
”Mama, apakah Sandra punya Papa?”
”Tentu saja punya, anak setan! Tapi tidak jelas siapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum tentu ia mau nadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tidak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit telah berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir sesuatu yang mirip dengan Liburan ke Rumah Nenek dan yang masuk dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
”Jangan rewel anak setan! Nanti kamu kuajak ke tampatku kerja, tapi awas ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau ke luar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
”Anak siapa itu?”
”Marti.”
”Bapaknya?”
”Mana aku tahu!”
Sandra sampai sekarang tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk di ruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menunjuk-nunjuk mereka.
”Anak kecil kok dibawa ke sini sih?”
”Ini titipan Si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang ke luar jendela. Ada langit yang biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang Ibu. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.
Apakah wanita itu ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
”Mama, Mama, kenapa menangis Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih teringat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan, ”Diam anak setan!” atau ”Bukan urusanmu anak jadah!” atau ”Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik, jangan cerewet kamu anak sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
”Mama kerja apa sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa, yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari Minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali Sandra makan, wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan dengan es krim sambil berbisik, ”Sandra, Sandra….”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita, dari sebuah buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
”Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus-menerus mengeluarkan asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager ….
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
DITUNGGU DI MANDARIN, KAMAR 505, PKL 20.00.
Sandra tahu, setiap kali pager itu menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu, Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu, tapi, begitulah, ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkannya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
”Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu Guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang terlalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Beberapa di antaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari ke luar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
”Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. ”Mama, Mama,” bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhannya yang panjang maupun pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika di kolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan. ”Mama, Mama,” dan pipinya basah oleh air mata.
”Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karangannya di meja guru. Sandra menyelipkan kertasnya di tengah.
***
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur….
Palmerah, 30 November 1991

Selasa, 17 Januari 2012

Clara ( Wanita Yang Diperkosa )



Cerita Pendek Tragedi Mei 1998
Seno Gumira Ajidarma

Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) -- tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.

Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.

Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada kata-kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan.

Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah-olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung. Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri. Beban penderitaan macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata?

Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif -- pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan. Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan.

***

Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ''Jangan pulang,'' kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ''Jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,'' kata Mama lagi.

Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa marah-marah. ''Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti, yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri. Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?''

Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.

Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar banyak kerusuhan belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus terang saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam urusan bisnis. Koran cuma saya baca judul-judulnya. Itu pun maknanya tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya yakin pasti bukan mahasiswa yang membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan, dan mobil-mobil yang lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada urusan membakar-bakari rumah orang kalau tidak ada yang sengaja membakar-bakar.

Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-guling. Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang menggesek aspal semen itu tetap mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! yang sering dianggap sebagai petanda betapa para pemilik mobil sangat jumawa.

Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.

''Buka jendela,'' kata seseorang.

Saya buka jendela.

''Cina!'' ''Cina!'' Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian. Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?

''Saya orang Indonesia,'' kata saya dengan gemetar.

Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.

''Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!'' Pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh dengan lumpur yang sudah mengering.

''Berdiri!'' Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang tinggi. Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash.

Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.

''Kamu pernah sama dia?''

Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.

Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.

''Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!'' Saya tidak perlu menjawab.

Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.

Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.

''Huh! Pacarnya orang Jawa!'' Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya cuma tahu cinta.

''Periksa! Masih perawan atau tidak dia!'' Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.

''Aaaahhh! Tolongngng!'' Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.

''Diem lu Cina!'' Rok saya sudah lolos....

***

Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku. Aku harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung percaya, aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan, sibuk menjebak, memancing, dan membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku bukan subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci bukan?

''Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?''

Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. Ternyata susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus bertanya.

''Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot, kalau kamu tidak bilang, apa yang harus saya tulis dalam laporan?''

***

Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula. Saya melihat lampu HP saya berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.

Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang --karena dia seorang wanita Cina. Sedangkan pacar saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk mencium bibir saya. Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?

Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.

''Maafkan anak-anak kami,'' katanya, ''mereka memang benci dengan Cina.''

Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ''Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.''

***

Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. ''Dia terkapar telanjang di tepi jalan,'' kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ''Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian. Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!'' Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.

''Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?''

Dia menatapku.

''Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah ... apa itu ... rok kamu dicopot?''

Dia menatapku dengan wajah tak percaya.

''Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?''

Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan. Bibirnya menganga. Memang pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita ini tidak menarik. Pastilah dia seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya --apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih....

''Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnah.''

Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.

''Saya mau pulang,'' ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang menggantung di bahu. Kain itu panjangnya tanggung, kakinya yang begitu putih dan mulus nampak telanjang.

''Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina diperkosa.''

''Tidak, saya mau pulang.''

''Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang jalan kaki seperti itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana dibakar.''

Dia diam saja.

''Tidur di situ,'' kutunjuk sebuah bangku panjang, ''besok pagi kamu boleh pulang.''

Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang babi -- tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.

Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan -- semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.

Jakarta, 26 Juni 1998

Rabu, 11 Januari 2012

Begining part 1

tadi pas ada pelajaran B. Indo aku menanyakan tentang KTI (karya tulis ilmiah), ternyata ibu bilang 1 kelompok ada 4 org, lah bagaimana ini? sedangkan THE MADID berjumlah 5 orang? apakah harus ada yg keluar salah satu? tp ibu bilang ada 1 kelompok yg beranggotakan 5 org. aku berharaap itu adalah kelompok ku. jd tidak ada yg keluar, masalah x aku sudah merencanakan ini sejak liburan kemarin.

Minggu, 08 Januari 2012

Perubahan rencana



Setelah ane nnton tv ternyata ane dpt ilham buat bikin karya ilmiah, yaitu mengidentifikasi tentang permen karet. setelah berunding akhirnya The Madid setuju. ini lebih masuk akal dr ide sebelumnya yaitu meneliti alam ghaib,

10 tips yang harus dilakukan saat bermain catur



1. Kuasai pusat
2. Jalankan kuda sebelum gajah
3. Jalankan gajah sebelum benteng
4. Jalankan benteng sebelum menteri
5. Rokade cepat
6. Lindungi buah
7. Serang petak yang sama dengan banyak buah
8. Ciptakan penyergapan bila mungkin
9. Ciptakan pengikatan bila mungkin
10.Kembangkan strategi pada setiap langkah


10 Larangan yang harus dihindarkan

1. Jangan jalankan buah lebih dari 1x dalam
pembukaan
2. Jangan memberikan sekak terlalu cepat
3. Jangan ciptakan bidak tumpuk
4. Jangan ciptakan bidak terpencil (isolasi)
5. Jangan biarkan lawan menciptakan bidak bebas
6. Jangan tutup jalan gajah dengan bidak
7. Jangan cepat makan buah yang terikat, kalau masih
bisa mempertahankan ikatan
8. Jangan jalankan bidak dimuka raja yang sudah
rokade
9. Jangan lakukan strategi yang tidak dimengerti
10.Jangan main terlalu tegang

Rabu, 04 Januari 2012

Tugas karya ilmiyah ko ribet????



Curcol lg nih ane gtan, kali ne wa bingung bgt, knp tugas dari ibu Suparti ( guru b.indo in my sekolah ) bisa bikin gue pusing yaw???


MASALAH PERTAMA.

wa bingung siapa aje yg ikut klmpok w?
setelah di sms beberapa temen akhirnya terbentuklah Team THE MEDID yg terdiri dari:
1. Fariz (aku sendiri, ckckck)
2. Arizal
3. Winy
4. Alan
5. Dani
6. Sylvia (kalo x jadi)

MASALAH KEDUA.

setelah tim terbentuk, apa yg harus dijadikan bahan untuk karya ilmiyah???
aku mencoba solusi dgn survei lg melalui sms

berikut pendapat para anggota:
1. Fariz ( gak ada, heeheee )
2. Arizal ( mengolah susu dari biji cempedak )
3. Winy ( meneliti minat baca siswa )
4. Alan ( meneliti tentang alam ghaib )
5. Dani ( meneliti tentang gitar )

dr hasil survei Aku, Winy Dan Alan memilih meneliti tentang meneliti alam ghaib dengan motiv tema x menarik dan penasaran.

apakah kami bisa meneliti tentang alam ghaib? itu lah 1 pertanyaan yg belum terjawab. mudahan saja bisa deh, wkwkwkwwkwkwk

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More